Jumat, 30 Maret 2012

Fiqh

Hukum Bagian-Bagian Tubuh Bangkai

March 7th, 2012 by Abu Muawiah
Hukum Bagian-Bagian Tubuh Bangkai
Karena banyaknya pertanyaan seputar ini, maka berikut kami bawakan artikel ringkas yang insya Allah bisa menjadi rujukan dan semacam kaidah dalam permasalahan ini. Maka kami katakan:
Bagian tubuh hewan darat, yang mengalir darahnya, dan mati dengan tidak disembelih secara syar’i secara umum bisa diklasifikasikan menjadi 3 bagian dari sisi hukumnya:
1.    Najis secara mutlak, dan tidak bisa disucikan sama sekali. Ini adalah darah dan daging dari bangkai.
Ini adalah pendapat seluruh ulama kecuali Asy-Syaukani rahimahullah yang berpendapat sucinya bangkai. Dan tidak ada seorang pun ulama yang mendahului beliau pada pendapat tersebut.
Dalil akan najisnya darah dan daging bangkai adalah dalil-dalil umum yang sudah masyhur tentang najisnya bangkai.
2.    Suci secara mutlak. Ini adalah rambut dan bulunya jika diperoleh dengan cara dicukur. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan sebuah riwayat dari Ahmad.
Dalilnya adalah: Bangkai itu najis adalah karena adanya darah yang tertahan padanya. Karenanya, semua bagian bangkai yang tidak ada darah padanya maka dia suci.
Walaupun Al-Hanafiah mengecualikan dalam hal ini bulu babi. Namun yang benarnya adalah bulu babi sama seperti hukum bulu hewan bangkai lainnya.
Termasuk dalam kategori suci secara mutlak adalah tanduk dan tulangnya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah dan yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiah.
Hal itu karena pada tanduk dan tulang tidak terdapat darah padanya, karenanya dia tidak dihukumi najis.
3.    Suci dengan syarat setelah disamak. Ini adalah kulitnya.
Ini adalah mazhab Azh-Zhahiriah. Berdasarkan keumuman hadits Abdullah bin Abbas secara marfu’:
إِذا دُبِغَ الإهابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Jika kulit sudah disamak maka sungguh dia telah suci.” (HR. Muslim no. 366)
Dan dalam riwayat Ahmad (1/219), At-Tirmizi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, dan An-Nasai no. 4241 dengan lafazh, “Kulit mana saja yang telah disamak maka dia telah suci.”
Demikian kesimpulan hukum dalam permasalahan ini, semoga bisa bermanfaat. Wallahu A’lam bishshawab.

Lupa Satu Rakaat, Cukup Ditambah Atau Diulang Seluruhnya?

February 28th, 2012 by Abu Muawiah
Lupa Satu Rakaat, Cukup Ditambah Atau Diulang Seluruhnya?
Soal:
Saya pernah shalat zuhur, tapi setelah selesai shalat, saya baru ingat kalau ternyata saya hanya shalat 3 rakaat. Apakah saya tinggal menambah rakaat yang keempat lalu sujud sahwi, ataukah saya harus mengulangi shalat dari awal secara sempurna?
Jawab:
Kapan orang yang shalat lupa satu rakaat atau lebih dari shalatnya, kemudian dia baru mengingatnya -sementara dia masih berada di tempat duduknya atau masih berada di dalam masjid itu- sesaat setelah shalat, semisal baru sekitar kurang lebih lima menit setelahnya, maka dia cukup menyempurnakan shalatnya dan dia cukup mengerjakan rakaat yang dia lupa. Kemudian dia salam kemudian melakukan sujud sahwi kemudian salam kembali.
Tapi jika dia baru mengingatnya setelah jangka waktu yang lama, semisal setengah jam atau setelah dia keluar dari masjid, maka dia harus mengulang shalatnya dari awal dan dia perlu menghitung rakaat yang sudah dia kerjakan karena rakaat itu sudah tidak bersambung dengan rakaat yang akan dia kerjakan.
(Fatawa Al-Mar`ah Ibnu Jibrin hal. 71)
[Diterjemah dari Al-Fatawa Asy-Syar'iyah hal. 221-222]

Incoming search terms:

  • lupa shalat rakaat
Category: Fatawa, Fiqh | No Comments »

Jika Mendapati Imam Tasyahud Akhir

February 26th, 2012 by Abu Muawiah
Jika Mendapati Imam Tasyahud Akhir
Soal:
Ada seseorang yang terlambat datang ke masjid dan dia mendapati shalat berjamaah pada posisi tasyahud akhir. Apakah dia ikut saja bergabung dengan jamaah yang ada ataukah dia menunggu jamaah yang akan datang berikutnya? Jika dia telah ikut bergabung dengan jamaah yang ada pada posisi tasyahud akhir, kemudian dia mendengar ada jamaah baru yang akan shalat. Apakah dia memutuskan shalatnya (lalu mengikuti jamaah yang baru) ataukah dia tetap menyempurnakan shalatnya?
Jawab:
Jika orang ini tahu kalau kemungkinan besar akan ada jamaah lagi setelahnya maka hendaknya dia menunggu agar dia bisa shalat berjamaah dengan jamaah yang baru. Karena pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah seseorang tidak dianggap mendapatkan shalat jamaah kecuali jika dia mendapatkan satu rakaat sempurna bersama jamaah. Adapun jika dia khawatir tidak akan ada lagi orang yang bisa shalat berjamaah bersamanya, maka yang paling utama baginya adalah ikut shalat bersama jamaah yang ada walaupun mereka sudah berada pada posisi tasyahud akhir. Karena mendapati sebagian shalat bersama jamaah itu lebih baik daripada tidak shalat bersama jamaah sama sekali.
Kemudian anggaplah dia sudah terlanjur shalat bersama imam (jamaah yang ada) karena dia tahu tidak ada lagi jamaah setelahnya, tapi ternyata kemudian ada jamaah yang baru dan dia mendengar mereka sedang shalat, maka tidak mengapa dia memutuskan shalatnya bersama jamaah yang ada lalu dia pergi dan shalat bersama jamaah yang baru datang. Atau dia meniatkan shalatnya bersama jamaah yang ada sebagai shalat sunnah, sehingga dia cukup mengerjakan 2 rakaat (lalu salam), kemudian dia menuju ke jamaah yang baru lalu shalat bersama mereka. Tapi jika dia tetap bersama dengan jamaah yang ada pun itu tidak mengapa. Jadi, dia bisa memilih salah satu dari tiga alternatif amalan yang ada.
(Mukhtar min Fatawa Ash-Shalah hal. 66, Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin)
[Diterjemah dari Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah hal. 178-179]
Category: Fatawa, Fiqh | No Comments »

Jika Imam dan Makmum Berbeda Niat

February 24th, 2012 by Abu Muawiah
Jika Imam dan Makmum Berbeda Niat
Soal 1:
Apa hukum orang yang akan mengerjakan shalat wajib bermakmum kepada orang yang sedang mengerjakan shalat sunnah?
Jawab:
Hukumnya syah. Karena telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa dalam suatu perjalanan, beliau shalat khauf dua rakaat dengan mengimami sekelompok sahabatnya. Kemudian setelah itu, beliau shalat lagi dua rakaat dengan mengimami kelompok yang kedua. Maka dalam hal ini, shalat beliau yang kedua ini adalah shalat sunnah bagi beliau. Demikian pula telah shahih dari dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Muadz radhiallahu anhu bahwa dia pernah ikut shalat isya di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian dia pulang mengimami jamaah shalat isya. Maka dalam hal ini, shalat isya ini merupakan shalat wajib bagi jamaahnya dan merupakan shalat sunnah bagi Muadz. Wallahu Waliyyu at-taufiq.
(Majallah Ad-Da’wah edisi 1033, Syaikh Ibnu Baaz) Read the rest of this entry »
Category: Fatawa, Fiqh | 1 Comment »

Zakat Tabungan Pernikahan

February 20th, 2012 by Abu Muawiah
Zakat Tabungan Pernikahan
Soal:
Seorang ayah mengumpulkan uang selama beberapa tahun untuk biaya pernikahan puteranya. Apakah uang tersebut harus dikeluarkan zakatnya? Perlu diketahui kalau dia menyiapkan uang tersebut khusus untuk pernikahan puteranya.
Jawab:
Dia wajib mengeluarkan zakat dari uang yang dikumpulkannya itu apabila sudah dia miliki selama setahun, walaupun dia meniatkannya sebagai biaya pernikahan puteranya. Karena selama uang itu ada padanya maka itu tetap terhitung sebagai hartanya. Dia wajib mengeluarkan zakat dari harta itu setiap tahun (jika jumlahnya masih mencapai nishab, pent.). Dan dia boleh menggunakannya untuk biaya pernikahan setelah zakatnya dikeluarkan. Dan hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil dari Al-Qur`an dan sunnah.
[Diterjemahkan dari Fatawa Az-Zakah Asy-Syaikh Ibnu Baaz hal. 13, via Al-Fatawa Asy-Syar'iyah fi Al-Masa`il Al-Ashriah hal. 262]
Category: Fatawa, Fiqh | 1 Comment »

Larangan Keluar Masjid Setelah Adzan

February 18th, 2012 by Abu Muawiah
Larangan Keluar Masjid Setelah Adzan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata pada Bab Larangan-Larangan Dalam Masjid:
Tidak halal keluar dari masjid setelah adzan. “Ada seorang lelaki yang pernah keluar dari masjid setelah adzan ashar dikumandangkan, maka Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Adapun orang ini, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wa alihi wasallam.”
Hadits ini berasal dari riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu sendiri. Dan hadits ini mempunyai dua jalan darinya:
Pertama: Dari Abu Asy-Sya’tsa` dia berkata …, lalu dia menyebutkan hadits di atas.
Diriwayatkan oleh Muslim (2/124), Abu Daud (1/89), An-Nasai (1/111), At-Tirmizi (1/397), Ad-Darimi (1/274), Ibnu Majah (1/248), dan Ahmad (2/410, 416, 471, 506) dari jalan Ibrahim bin Al-Muhajir, Asy’ats bin Abi Asy-Sya’tsa` dan Al-Muharibi dari Abu Asy-Sya’tsa`. At-Tirmizi berkata -dan ini adalah lafazhnya-, “Hadits hasan shahih.”
Lafazh tambahan dalam hadits di atas terdapat dalam riwayat At-Tirmizi, Abu Daud, dan salah satu riwayat Ahmad.
Kemudian, Ahmad juga meriwayatkannya (2/537) dari jalan Syarik dari Asy’ats dengan sanad di atas tapi dengan lafazh tambahan, “Kemudian Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami, “Jika kalian berada di dalam masjid sementara adzan dikumandangkan, maka jangan salah seorang di antara kalian keluar sampai dia mengerjakan shalat.”
Al-Mundziri berkata (1/115), “Diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya shahih.”
Al-Haitsami berkata (1/5), “Semua perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih.”
Saya berkata: Hadits ini dengan lafazh tambahan ini tidaklah shahih, karena Syarik bersendiri dalam menambahkan lafazh ini dan dia bukanlah perawi yang kuat ketika dia bersendirian, sebagaimana yang dikatakan oleh Ad-Daraquthni. Dalam At-Taqrib disebutkan, “Jujur tapi sering salah hafal.”
Ditambah lagi, dia bukanlah perawi yang riwayatnya dijadikan dalil utama oleh Al-Bukhari dan tidak pula Muslim. Muslim hanya meriwayatkan haditsnya sebagai pendukung, sebagaimana yang ditegaskan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan. Karenanya, ucapan Al-Haitsami bahwa semua perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih tidaklah benar. Karena ucapannya ini mengesankan bahwa riwayat setiap perawi di dalamnya telah dijadikan dalil utama di dalam kitab Ash-Shahih, padahal tidak demikian kenyataannya. Walaupun sebenarnya juga hadits yang marfu’ dari jalan lain dari Abu Hurairah sebagaimana yang akan disebutkan. Hanya saja saya pribadi belum mendapatkan sanadnya sehingga belum bisa dihukumi apakah haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung atau tidak. Akan tetapi lahiriah ucapan Al-Mundziri dan Al-Haitsami menunjukkan bahwa riwayat itu kuat, sebagaimana yang akan kamu lihat nanti. Read the rest of this entry »
Category: Fiqh | 2 Comments »

Bolehnya Tidur Terlentang di Dalam Masjid

January 31st, 2012 by Abu Muawiah
Bolehnya Tidur Terlentang di Dalam Masjid
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
Boleh Berbaring dengan posisi terlentang di dalam masjid. Berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini:
أنه رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ مُسْتَلْقِيًا وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى
“Bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidur terlentang di dalam masjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas kaki lainnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/446) (10/328) (11/68) dan dalam Al-Adab Al-Mufrad (172), Muslim (6/154), Malik (1/186) serta Abu Daud (2/297) dan An-Nasai (1/118) dari jalannya, Muhammad dalam kitabnya Muwaththa` (398), At-Tirmizi (2/127 -cet. Bulaq), Ad-Darimi (2/282), Ath-Thayalisi (hal. 148 no. 1101), dan Ahmad (4/38, 39, 40) dari beberapa jalan dari Az-Zuhri dia berkata: Abbad bin Tamim mengabarkan kepadaku dari pamannya (Abdullah bin Zaid, pent.) dengan lafazh di atas.
At-Tirmizi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Abu Hurairah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Fath (11/68)
Hadits ini adalah dalil dari apa yang kami sebutkan berupa bolehnya tidur terlentang di dalam masjid. Dan dengan inilah, Al-Bukhari dan An-Nasai memberikan judul bab terhadap hadits ini, dan ini pula yang dijelaskan oleh para ulama yang mensyarah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, dan selain keduanya.
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath, “Kelihatannya, perbuatan beliau shallallahu alaihi wasallam adalah untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut. Dan hal itu beliau lakukan pada waktu beliau beristirahat sendirian, bukan di hadapan banyak orang, karena sudah menjadi kebiasaan yang diketahui dari beliau bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam selalu duduk-duduk bersama mereka dengan sikap rendah hati yang sempurna. Al-Khaththabi berkata, “Dalam hadits ini terdapat pembolehan bersandar, berbaring, dan posisi istirahat lainnya di dalam masjid.” Ad-Daudi berkata, “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala yang disebutkan bahwa orang yang tinggal di dalam masjid itu tidak terkhusus bagi orang yang duduk saja, akan tetapi juga didapatkan oleh orang yang tidur terlentang.” Read the rest of this entry »
Category: Fiqh | 2 Comments »

Hukum memakan Al-Jallalah.

January 23rd, 2012 by Abu Muawiah
Hukum memakan Al-Jallalah.
Al-jallalah (الجلالة), dengan jim difathah dan lam ditasydid, berasal dari bangunan kata yang menunjukkan makna berlebihan. Dia adalah hewan pemakan tinja, baik dia adalah sapi atau kambing atau onta atau dari jenis unggas seperti ayam, angsa dan selainnya[1].
Ada dua pendapat di kalangan tentang hukum memakannya:
Pendapat pertama: Haram memakannya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad[2] dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[3]. Mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah r melarang dari memakan jallalah dan meminum susunya.[4]
Hadits ini jelas menunjukkan pengharaman makan daging jallalah karena asal dalam hukum larangan adalah haram.
Pendapat kedua: Dimakruhkan memakan dagingnya. Ini adalah riwayat kedua dari Ahmad, yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[5] dan merupakan mazhab Al-Hanafiah[6]. Karena pelarangnya tidak berkaitan dengan zat hewan tersebut akan tetapi berkaitan dengan sebab lain (makanan) yang masuk kepadanya dan itu tidak melazimkan hukum apa-apa kecuali jika dagingnya berubah, hanya saja itu tetap tidak menjadikan dia haram untuk dimakan.
Mereka berselisih menjadi beberapa pendapat mengenai kadar najis yang jika kadar ini dimakan oleh seekor hewan maka dia dianggap jallalah dan berlaku padanya hukum ini:
Pendapat pertama: Jika dia lebih banyak memakan yang najis daripada memakan makanan lainnya (maka dia jallallah). Tapi jika tidak, maka itu tidak berpengaruh (baca: tidak dihukumi jallalah). Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah[7], Al-Hanafiah[8] dan Asy-Syafi’iyah[9]. Karena jika kebanyakan makanannya adalah najis maka itu akan merubah dagingnya, sehingga dia diharamkan untuk memakannya sebagaimana makanan yang busuk[10].
Pendapat kedua: Dia banyak memakan najis, kalau sedikit maka tidak mengapa (baca: tidak dihukumi jallalah). Ini adalah pendapat lain dalam mazhab Al-Hanabilah[11]. Perbedaan antara ‘lebih banyak’ dengan ‘banyak’ saya kira jelas.
Pendapat ketiga: Yang menjadi patokan bukan masalah banyak tidaknya, tapi yang menjadi patokan adalah baunya. Jika tercium dari keringatnya dan selainnya bau najis maka dia asalah jallalah, dan jika tidak maka tidak. Ini adalah pendapat yang paling benar dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[12]. Read the rest of this entry »
Category: Fiqh | 3 Comments »

Hukum Lelaki dan Wanita Bersuci Bersama

January 11th, 2012 by Abu Muawiah
Hukum Lelaki dan Wanita Bersuci Bersama
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama akan bolehnya sekumpulan lelaki berwudhu bersama dari satu bejana, bolehnya sekumpulan wanita berwudhu bersama dari satu bejana, dan bolehnya lelaki dan wanita berwudhu bersama jika mereka merupakan mahram. Ijma’ pada ketiga masalah ini telah dinukil oleh sejumlah ulama. Di antaranya:
Ath-Thahawi rahimahullah berkata dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (1/26), “Suatu hukum yang sudah disepakati adalah bahwa jika lelaki dan wanita keduanya bersamaan mengambil air dengan tangan mereka masing-masing dari satu bejana, maka hal itu tidaklah membuat air itu menjadi najis.”
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Maratib Al-Ijma’ (1/18), “Para ulama sepakat akan bolehnya dua lelaki atau dua wanita berwudhu bersama.”
Ijma’ juga dinukil oleh Imam Al-Qurthubi dalam Al-Mufhim (1/583) dan Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah dalam Majmu’ Al-Fatawa (21/51)
Adapun landasan dari ijma’ ini adalah sebagai berikut:
1. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ دَعْ لِي دَعْ لِي. قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ
“Saya pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu bejana yang terletak di antara aku dengan beliau. Lalu beliau mendahuluiku menciduk air, hingga aku berkata, “Sisakan untukku, sisakan untukku.” Amrah (perawi dari Aisyah) berkata, “Sedangkan keduanya dalam keadaan junub.” (HR. Muslim no. 321)
2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةَ كَانَا يَغْتَسِلَانِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Maimunah pernah mandi bersama dari satu bejana.” (HR. Al-Bukhari no. 253)
3. Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَرْأَةُ مِنْ نِسَائِهِ يَغْتَسِلَانِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan salah seorang dari isteri beliau pernah mandi (junub) dalam satu bejana.” (HR. Al-Bukhari no. 264)
Category: Fiqh | No Comments »

Hukum Mengubur Mayat Dengan Peti Mati

January 1st, 2012 by Abu Muawiah
Hukum Mengubur Mayat Dengan Peti Mati
Tanya:
Assalaamualaikum wr. wb.
Mau nanya ni pak ustad.
Gimanakah hukumnya kalau menguburkan jenazah memakai kerenda yaitu kotak yg dibuat dari papan yang di ketam bersih. Dan tolong bersama dalilnya. Terimakasih sebelumnya. Wassalam.
Marin
marin_kurniawan@yahoo.com
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Mengenai hukum menguburkan jenazah bersama peti matinya, maka perlu dilihat alasan dilakukannya:
1. Jika itu dilakukan dalam rangka tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir, maka hukumnya jelas tidak boleh berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak yang mengharamkan tasyabbuh kepada orang kafir.
2. Jika itu dilakukan karena ada keadaan darurat yang mengharuskan, misalnya tanahnya lembek sehingga susah menguburkan mayat di dalamnya atau dikhawatirkan akan digali oleh binatang buas atau udzur lain yang mengharuskan. Maka jika demikian keadaannya, maka sebagian ulama membolehkannya.
3. Jika itu dilakukan bukan dengan niat tasyabbuh kepada orang kafir dan juga bukan dalam keadaan darurat seperti pada keadaan kedua di atas, maka para ulama menyatakannya sebagai amalan yang bid’ah dikarenakan menguburkan dengan peti mati bukanlah metode penguburan Islami. Karenanya tidak ada satupun riwayat yang menyebutkan adanya penguburan mayit beserta peti matinya pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, padahal hal itu memungkinkan untuk dikerjakan.
Catatan:
1. Ketiga hukum di atas berlaku untuk mayit lelaki dan wanita tanpa ada perbedaan.
2. Jika mayit sebelum dia meninggal berwasiat untuk dikuburkan dalam peti mati, maka wasiatnya tidak boleh ditunaikan, kecuali jika keadaannya sesuai dengan keadaan kedua di atas.
Demikian rangkuman dari ucapan-ucapan para ulama dalam permasalahan ini, wallahu A’lam bishshawab.
[Sumber: Al-Mughni: 2/379, Al-Inshaf: 4/340, Mughni Al-Muhtaj: 4/343, dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 1705, 3913, 4731]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar